“…Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?..”
(Az Zumar [39]: 9)
Islam sangat menghargai ilmu dan
ulama (ilmuwan), sehingga kedudukan ilmu dan ulama sangat tinggi dan
mulia dalam parameter Islam. Allah SWT telah berfirman: “… niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Al Mujaadilah [58]:
11).
Rasulullah SAW juga telah
mengisyaratkan: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, niscaya ia akan
diberi pengertian atau pemAahaman mengenai agama” (HR. Bukhary dan
Muslim). Bahkan kedudukan seorang alim (orang yang berilmu) lebih tinggi
dibandingkan kedudukan seorang ‘abid (orang yang beribadah). “Kelebihan
seorang alim dari seorang ahli ibadah, seperti kelebihanku terhadap
orang yang terendah di antara kamu” (HR. At Tirmidzi).
Berkata Umar RA: “Wahai manusia! Kalian
wajib menuntut ilmu. Sesungguhnya Allah memiliki selendang kemuliaan.
Barangsiapa mencari satu bab ilmu saja, niscaya Allah akan membalutnya
dengan selendang kebesaran-Nya”.
Mu’adz bin Jabal berkata: “Belajarlah
olehmu ilmu pengetahuan! Sebab, mempelajarinya karena takut kepada Allah
merupakan ibadah, mempelajarinya berarti tasbih, membahasnya jihad,
mengajarkannya shadaqah dan mencurahkannya kepada ahlinya merupakan
qurban. Ilmu adalah teman dalam kesendirian, dalil agama dan penolong
dalam suka dan duka. Ia shahabat karib di kala sepi, teman yang paling
baik dan paling dekat serta ia merupakan cahaya jalan menuju surga.
Dengannya Allah mengangkat martabat ummat, lalu dijadikan-Nya mereka
pemimpin dalam hal kebaikan”.
Kewajiban Menuntut Ilmu
Karena kedudukan ilmu yang sedemikian
tingginya, maka Islam mewajibkan ummatnya untuk mempelajari ilmu,
sehingga diharapkan mereka bekerja berdasarkan ilmunya, bukan sekedar
mengikuti seseorang tanpa tujuan. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya”(Al Israa’ [17]: 36).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Islam
sangat memusuhi sikap-sikap taqlid, yaitu sikap mengikuti sesuatu tanpa
didasarkan pada ilmu, tetapi hanya sekedar ikut-ikutan. Mereka inilah
yang disebut dengan pengikut fanatik atau pengikut buta. Berkata Al Aufi
tentang maksud dari ayat ini: “Janganlah engkau menuduh seseorang
tentang sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengetahuan dalam hal itu”.
Sedangkan Qatadah berkata:”Janganlah
engkau berkata, “Aku telah melihat padahal engkau tidak melihat, aku
telah mendengar padahal engkau tidak mendengar, aku telah mengetahui
padahal engkau tidak mengetahui”. Sementara Allah akan meminta
pertanggungjawaban kamu tentang hal itu”.
Maka segala sesuatu yang hendak kita
kerjakan, semuanya dilandaskan kepada ilmu. Bahkan memahami syahadat
pun, harus dilandasi dengan ilmu.
“Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada ilah (Yang Haq) melainkan Allah…” (Muhammad [47]: 19).
Rasulullah SAW menegaskan kembali tentang
wajibnya menuntut ilmu bagi setiap Muslimin dan Muslimat. Sabdanya:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslimin dan muslimah”
Kedudukan Ilmu :
- Fardhu ‘Ain
Ada ilmu-ilmu dalam syari’at Islam
yang berkedudukan fardhu ‘ain,yaitu wajib bagi setiap Muslimin dan
Muslimat untuk mempelajarinya. Ilmu-ilmu yang wajib untuk dipelajari
oleh setiap Muslimin dan Muslimat adalah ilmu-ilmu yang lazim
dipergunakan untuk kepentingan diennya atau untuk dunianya.
Imam Abu Muhammad bin Hazm
berkata,”Seorang Muslim dan Muslimah harus mempelajari bagimana bersuci,
shalat, puasa, halal-haram mengenai makanan dan minuman, pakaian, seks,
perkataan dan per- buatan. Semua ini harus dipelajari oleh setiap
Muslimin dan Muslimat baik yang merdeka maupun hamba sahaya supaya
mereka dapat mempraktekannya ketika sudah baligh. Ia juga harus
mempelajari Bahasa Arab untuk memperbagus bacaan Al Qu’an,
Hadits,bacaan-bacaan shalat, takbir, tasbih dan lain sebagaianya”. Imam
Ghazali mengatakan,”Ilmu dan tujuannya terbagi menjadi dua: syar’i dan
non syar’i.
Syari’ah adalah sesuatu yang diambil dari
Nabi-Nabi dan akal tidak dapat menunjukkannya, tidak pula pengalaman
seperti kedokteran, bahasa dan sejenisnya”.
Sehingga ilmu yang wajib diilmui oleh setiap Muslimin dan Muslimat adalah:
Ilmu untuk mengetahui aqidahnya dengan pengetahuan yang meyakinkan dan shahih, bebas dari segala bentuk syirik dan khurafat.
Ilmu untuk memperbaiki ibadahnya kepada
Allah SWT secara dhahir, agar ibadah itu sesuai dengan bentuk yang
disyari’atkan. Secara bathiniah dimaksudkan supaya ibadahnya sarat
dengan nilai keikhlasan.
Ilmu untuk dapat membersihkan dirinya dan
mensucikan hatinya dan untuk mengetahui keutamaan-keutamaan “yang
menyelamatkan” sekaligus mengamalkannya. Juga ilmu untuk mengetahui
kerikil- kerikil “yang membahayakan” sekaligus menjauhinya.
Ilmu untuk memperbaiki perilaku dalam
berhubungan dengan dirinya sendiri, keluarganya dan sesamanya. Terhadap
pemerintah dan rakyat, terhadap sesama Muslim dan non Muslim. Dengan
itu, ia mengetahui yang halal dan haram, yang wajib dan sunnah, yang
layak dan yang tidak layak. Kewajiban mempelajari ilmu-ilmu ini
merupakan batas minimal pengetahuan bagi seorang Muslim terhadap
dien-nya di setiap lingkungan dan setiap keadaan. Imam Abu Muhammad bin
Hazm berkata,”Jika mereka tidak mendapatkan ilmu ini di negaranya, maka
dianjurkan untuk mencarinya ke luar, walaupun ke tempat yang paling
jauh”. Setelah mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu itu, jika mungkin,
seorang Muslim wajib juga menambah pengetahuan-pengetahuan khusus yang
berkaitan dengan kondisinya atau disiplin ilmunya. Orang yang fakir,
misalnya, ia tidak diwajibkan mempelajari hukum-hukum zakat secara
detail, kecuali sekedar mempelajari zakat yang boleh diambilnya. Seorang
pedagang diwajibkan untuk mempelajari hukum zakat yang berkaitan dengan
perdagangan secara lebih detail. Tetapi ia tidak diwajibkan untuk
mempelajari hukum zakat ternak atau pertanian dengan lebih detail,
karena ia tidak membutuhkan. Seorang dokter diwajibkan memperdalam hukum
Islam yang berkaitan dengan profesinya; seperti larangan memberikan
obat berupa khamr, larangan melakukan aborsi dan lain sebagainya. Tidak
dapat tidak setiap manusia tentu memiliki kekhususan bidang dalam ritme
kehidupannya. Maka diwajibkan bagi seorang Muslim untuk memperdalam
hukum-hukum yang berkaitan dengan dirinya, baik itu berhubungan dengan
keahlian atau tugas kesehariannya. Sehingga diharapkan setiap
aktivitasnya selalu terkerangka dalam bingkai Syari’at Islam. “… maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui” (An Nahl [16]: 43)
- Fardhu Kifayah
Ada beberapa ilmu yang dikategorikan
fardhu kifayah untuk mempelajarinya. Jika salah seorang atau sejumlah
orang sudah mempelajarinya, maka kewajiban bagi yang lainnya menjadi
gugur. Sebaliknya, jika tidak ada seorang Muslimpun yang mempelajarinya,
maka semua ikut menanggung dosanya, terutama pemerintah. allah SWT
telah berfirman: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang Mu’min itu
pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya” (At Taubah [9]: 122).
Secara dhahir, yang dimaksud fardhu
kifayah di sini adalah tiap sesuatu yang dibutuhkan oleh jama’ah
Muslimin dalam diennya atau dunianya dengan jalan mendalami ilmu-ilmu
syara’ atau spesialis dalam ilmu-ilmu alam seperti kedokteran, teknik,
olahraga, astronomi, kimia, fisika, biologi, geologi atau disiplin ilmu
lainnya yang dibutuhkan oleh kehidupan masyarakat di abad modern ini;
baik di bidang budaya atau kemiliteran (DR. Yusuf Qardhawi, Keutamaan
Ilmu Dalam Islam).
Berkata Imam Ghazali,”Ilmu-ilmu non
syar’i terbagi menjadi tiga yaitu yang terpuji, yang tercela dan yang
mubah. Yang terpuji adalah sesuatu yang terikat dengannya segala
kemashlahatan perkara dunia, seperti kedokteran dan matematika…”.
Dari sini bisa difahami, bahwa ilmu
yang dibutuhkan dalam menegakkan segala urusan dunia bernilai fardhu
kifayah, seperti ilmu kedokteran dan matematika. Prinsip-prinsip
perindustrian juga bagian dari fardhu kifayah seperti pertanian, tenun,
politik bahkan jahit-menjahit. Jika semua hal ini tidak ada yang
menguasainya, maka akan muncullah kecelakaan bagi mereka. Tetapi bila
telah ada seseorang atau sebagian orang yang melakukannya, maka gugurlah
kewajiban itu.
- Ilmu Yang Tercela
Ada juga beberapa ilmu yang tercela
untuk dipelajari apalagi sampai diperdalam dan diamalkan. Seperti ilmu
sihir, klenik, guna-guna termasuk ke dalam ilmu-ilmu yang tercela untuk
dipelajari.
Jika kita ingin selamat di dunia,
harus dengan ilmu. Jika kita ingin selamat di akhirat, haruslah dengan
ilmu. Jika kita ingin selamat di dunia dan akhirat, juga harus dengan
ilmu. Untuk itu, mari kita gemarkan menuntut ilmu. “Barangsiapa yang
berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).
Wallahu a’lam bishshawab…..REFERENSI: http://koezz.wordpress.com/artikel-muslim/ilmu/