...
Bus
transjakarta yang ia tumpangi berhenti di halte harmoni untuk transit sejenak.
Segerombolan orang keluar dan berganti dengan gerombolan yang lain. Terlihat
ekspresi yang beraneka ragam dari penumpang bus, ada yang terlihat buru2, ada
yang duduk santai sambil mendengar headset, ada yang terlihat pegal2 karena
sudah berdiri terlalu lama. Namun pandangan risa tertuju pada seorang pria
ekspatriat yang bertubuh tinggi kekar, berkulit putih namun berambut hitam
terlihat seperti keturunan indo-belanda.
Pemandangan
itu membuat ia teringat dengan buku catatan seorang pria belanda bernama Peter
van hoff. Dalam buku catatan tsb, van hoff menggambarkan keadaan kota batavia
yang pada masa itu orang belanda banyak tinggal disana. Setiap pagi dan sore,
kota batavia dipadati oleh orang kulit putih yang mengenakan pakaian rapih dan
licin, mereka berlalu lalang di kota dengan menumpang trem, sepeda kumbang atau
berjalan kaki. Keadaan trem saat itu serupa dengan bus transjakarta yang
ditumpangi risa, namun dulu orang pribumi tidak diizinkan berada satu kelas
dengan para mijnher dan mevrow belanda. Orang pribumi dilarang duduk
berdampingan dengan orang belanda, tempat pribumi adalah di paling belakang
bersama ternak atau barang. Di restoran pun demikian, meskipun tidak ada
tulisan ''kawasan bebas pribumi'' namun ada larangan secara tersirat yang
apabila dilanggar akan dikenakan sanksi tegas.
Tanpa
sadar ternyata bus telah tiba di halte bus kota tua. Risa memandang bangunan
stasiun kota yang usianya sudah setua kota batavia. Dalam kekagumannya tersebut
risa teringat untuk mengeluarkan buku catatan yang sudah ia persiapkan dalam
ranselnya.
Disaat
bersamaan pria bule yang tadi satu bus dengan risa sedang membuka peta di
tablet-nya untuk melihat google map. Sore itu memang mendung telah menutupi
kota jakarta. Rintik hujan pun turun dengan lembut membasahi rasa lelah
penduduk kota yang saat itu tergesa mencari tempat berteduh.
Pria
bule itu bernama cristopher de vrist, dia memang seorang keturunan indo belanda
namun darah belandanya lebih mendominasi sehingga terlihat seperti seorang
mijnher. Dia adalah seorang peneliti yang bekerja di kedutaan belanda.
Projeknya kali ini adalah meneliti kebenaran kabar tentang dikuburnya harta
kesultanan banten di sepanjang kali sunter. Harta kesultanan tersebut konon
dikubur oleh bendahara sultan saat leluhurnya ''para marsose belanda'' mencoba
menaklukkan kesultanan banten.
Untuk
melanjutkan penelitiannya ia mencoba mencari bukti dengan mendatangi berbagai
museum di jakarta. Tujuannya kali ini adalah museum fatahillah kota tua
jakarta.
Setelah
membuka peta dalam tabletnya, cris bergegas menuju tempat tujuannya melewati
museum mandiri, namun terhenti di halte depan museum Bank Indonesia.
Saat
itu halte bus belum terlalu ramai, hanya tampak 3 orang sedang berdiri sambil
memperhatikan jalan, 4 orang yg lain duduk asyik dengan gadgetnya. Pandangan
cris tertuju pada seorang wanita muslimah yang sedang duduk dan membuka-buka
sebuah buku yg terlihat seperti sebuah binder.
Paras
wajahnya sangat cantik, bola mata yang jernih dan bulat, pipi yang bersih
kemerahan, bentuk dagu yang proporsional dan hidung yang mancung serta bibir
merah jambu memperlihatkan keanggunan wanita jawa. Keanggunan tersebut semakin
terlihat nyata dengan balutan hijab yang menutupi kepalanya. Cris terpaku
sesaat, sembari pikirannya menerobos ruang dan waktu seraya membayangkan para
putri raja tanah jawa yang terkenal memiliki wajah manis.
Namun
seketika cris tersadar dari lamunannya dan berkata dalam hati ''oh tuhan, beri
aku kekuatan untuk mengendalikan pikiran ku yang ngawur ini''.
Lama
kelamaan, halte bus dipadati oleh para pengendara sepeda motor yang menepi
untuk menunggu hujan reda. Setelah satu jam berteduh di halte, cris melihat
arloji rolexnya dan jarum telah menunjukkan pukul 5 sore. ''nampaknya aku
datang terlalu sore, mudah-mudahan museum belum tutup''. Tak lama kemudian hujan
mulai reda dan cris kembali melanjutkan perjalanannya. 5 menit berjalan, ia
akhirnya tiba di depan museum sejarah jakarta atau terkenal dengan museum
fatahilah. Dari kejauhan terlihat pintu gerbang telah tertutup, cris bergegas
mengambil jalan memutar mencari pintu belakang untuk menemui penjaga museum dan
berharap surat riset dari kedutaan belanda dapat membantunya untuk membujuk
penjaga membukakan pintu gerbang museum.
Ketika
tiba di pintu belakang, cris kembali melihat orang yang tadi dilihatnya di
halte bus. gadis itu sedang berusaha membujuk penjaga museum untuk dapat masuk,
namun nampaknya penjaga museum agak mengabaikan bujukannya. Tibalah cris di
depan pos penjaga, ia lalu mengeluarkan secarik kertas bertanda tangan dubes
belanda. Sejenak penjaga melihat isi surat tersebut kemudian bertanya, ''sory
sir, your name is cristopher de vrist?''. Cris menjawab dengan bahasa indonesia
cukup fasih sambil mengulurkan tangan ''iya betul saya cris''. ''oh mister bisa
bahasa indonesia, perkenalkan saya agus, staf perawatan dan pemeliharaan museum
fatahilah'' menyambut dengan menjabat tangan cris. ''oh pak agus, senang
bertemu anda'' sahut cris. ''iya sama-sama, prof agung telah menceritakan bahwa
sahabatnya dari belanda akan mengunjungi tempat ini dan saya di perintahkan
untuk menemani anda sampai beliau kembali dari mengajar di kampus''.
''terimakasih
pak agus, maaf kalau saya merepotkan sore-sore begini''
''tak
usah sungkan, apa yang bisa saya bantu?'' jawab pak agus.
''saya
ingin melihat2 ke dalam pak, bapak bisa temani saya?'' ujar cris
''dengan
senang hati, itu memang bagian dari tugas saya''.
Melihat
cris masuk dengan cukup mudah, risa akhirnya memohon kepada cris untuk
memperbolehkannya ikut masuk bersamanya.
''mister,
izinkan saya masuk bersama anda...'' sahut risa sembari memohon. Melihat
wajah risa, cris seperti terperdaya dan tak kuasa menolaknya. Akhirnya mereka
bertiga masuk ke dalam museum bersamaan.
Dalam
perjalanan menyusuri museum, terdengar pak agus menjelaskan tentang sejarah
museum tersebut sampai akhirnya berhenti di sebuah lemari kaca yang di dalamnya
terdapat kertas2 kuno yang terlihat tampak kecoklatan. ''Nah ini dia manuskrip
yang mister cari''. ''terimakasih pak agus, bisakah anda tinggalkan saya
sendiri bersama manuskrip ini?'' ujar cris. '' ya tentu, panggil saja saya
kalau mister butuh bantuan''. Cris tersenyum dan mengangguk. Dengan teliti cris
memperhatikan tiap rangkaian huruf yang membentuk kata-kata berbahasa belanda
dalam manuskrip itu. Di dalamnya dijelaskan bahwa kota batavia didirikan oleh
jan pieterszoon coen pada 1619. Batavia merupakan pusat perdagangan voc di
kawasan hindia timur. Namun kota dalam benteng itu sering kali mendapat
serangan dari pasukan banten, pasukan raja-raja jawa dan laskar pangeran
jayakarta. Untuk mengamankan batavia, voc kemudian membangun enam buah benteng
di sebelah selatan batavia yang saat itu masih banyak hutannya. Namun keenam
benteng yang dimaksud tak dipaparkan secara mendetail dalam manuskrip itu.
Hanya 3 benteng saja yang dijelaskan disana, yaitu benteng rijswijk, benteng
noordwijk dan benteng frederik. Ketiga benteng tersebut didirikan pada
pertengahan abad ke tujuh belas. Fungsinya sebagai pertahanan pertama jika
datang serangan dari sebelah selatan. Kemudian di sekitar benteng muncul
pemukiman pribumi, indo-eropa, cina dan kaum mardijker, yaitu para budak voc
yang telah di merdekakan.
Saat
sedang khusyuk membaca, terdengar suara jeritan dari lantai 2 museum. Cris
teringat bahwa gadis yang tadi berteduh di halte bersamanya saat ini berada
disana. Dengan tangkas cris menutup lembaran manuskrip menyimpan dengan rapih
di lemari kaca dan bergegas lari menuju anak tangga dan mencari sumber suara
tersebut.
...to be continued...
(fakta diambil dari berbagai sumber otentik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar